Rabu, 09 Maret 2011

Atas Nama Demokrasi, Indonesia Babak Belur

(Tanggapan untuk Priyo Budi Santoso, Wakil Ketua DPR RI)
Wakil ketua DPR RI Priyo Budi Santoso (PBS) pada pertemuan antara Wakil Ketua DPR RI dengan delegasi House Democracy Partnership Committee Kongres Amerika Serikat yang dipimpin oleh Anggota Kongres David Dreier  (23 Februari 2011) mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia merupakan salah satu yang terbaik di dunia.
“Indonesia saat ini dikenal sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia yang menganut sistem demokrasi. Kenyataan ini telah menjadikan Indonesia sebagai sebuah model di mana Islam dan demokrasi dapat berjalan seiringan,” ujarnya sebagaimana dilansir detikcom (04/0311).
Ungkapan ini patut untuk dipertanyakan, sebab Indonesia yang masih babak belur seperti  ini, buah dari penerapan sistem demokrasi  tapi sudah dijadikan sebagai model percontohan. Bahkan dikatakan salah satu yang terbaik di dunia mengungguli AS karena berhasil melakukan pilpres secara langsung.
INDONESIA YANG BABAK BELUR
1. Terkait demokrasi prosedural.
Pelaksanaan pemilu yang merupakan  salah satu pilar demokrasi ini telah menelan biaya yang luar biasa besarnya. Padahal notabene anggaran yang digunakan adalah mengambil uang rakyat. Menurut perkiraan KPU, pemilu 2009 menghabiskan dana sebanyak 47,9 triliun, belum diketahui berapa hasil akhir audit dana pemilu tersebut. Di tingkat daerah, pemilukada 2010 mencapai  4,2 trilyun rupiah.
Biaya yang sangat besar tersebut ternyata gagal menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Masyarakat harus disuguhi dengan praktik-praktik jual beli politik atau politik dagang sapi. Melahirkan pemimpin peragu dalam mengambil keputusan, seringkali kebijakannya tidak berpihak pada rakyat. Sebagai contoh: Kenaikan harga BBM, kenaikan TDL (tarif dasar listrik), dsb.
Banyak kepala daerah yang terjerat kasus korupsi , menurut Mendagri Gamawan Fauzi dalam pertemuan dengan Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Senin (28/2). Gamawan menyebut sekitar 150 dari 524 kepala daerah tingkat provinsi dan kabupaten atau kota sedang menjalani proses hukum dan terancam dipecat dari jabatannya. (Matanews, 02/03/11). Hal ini wajar terjadi dalam pemilu demokrasi disebabkan mahalnya ongkos naik menjadi pejabat, sedangkan hitung-hitungan gaji yang akan di dapat tak menutupi, maka secara otomatis dia akan mencari balik modal.
Efek moral demokrasi prosedural.  Data sengketa Pilkada yang mendapat putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2009 adalah sebanyak 78 kasus (57%),  dan yang juga berada dalam proses sidang sebesar 46 kasus (34%). Konflik dan sengketa pada Pilkada Langsung ini bukan hanya berdampak pada aspek politik, namun lebih luas lagi pada aspek sosial budaya masyarakat. Bagaimana kita lihat begitu banyaknya terjadi berbagai konflik di tengah-tengah masyarakat akibat pemilu.
Begitu pula buah dari demokrasi prosedular  telah berdampak negatif bagi kehidupan spiritual masyarakat, di mana kasus money politik dan suap menyuap  ini rentan terjadi di tingkat kelurahan sampai tingkat pusat yang mungkin tak terhitung lagi jumlahnya.
2. Terkait Demokrasi sistemik.
Demokrasi memiliki asas kedaulatan di tangan rakyat. Artinya rakyatlah yang membuat hukum atau Undang-Undang. Fakta di Indonesia, rakyat mengamanahkan para wakilnya yang duduk di parlemen yang terpilih dalam pemilu. Namun pada kenyataannya yang berdaulat adalah para pemilik modal.
Dalam demokrasi-kapitalisme, kekuatan pemilik modal menjadi faktor utama dalam mengambil kebijakan. Hal ini disebabkan mahalnya ongkos naik menjadi pejabat parleman maupun Presiden sekalipun. Jika dia bukan seorang yang meiliki modal yang sangat besar, maka dia akan mencari sponsor pemodal lain. Sehingga muncul politik balas budi.
Kemudian munculnya UU Migas, UU Air, RUU Investasi, UU listrik, dll adalah bukti nyata adanya intervensi asing, bahkan diakui sendiri oleh anggota Komisi IV DPR RI Siswono Yudhohusodo, bahwa setidaknya ada 60 produk perundangan Indonesia yang dipengaruhi kepentingan perusahaan asing dan sangat merugikan kepentingan nasional. (RM online 20/10/10).
Hasilnya, negeri ini ibarat tergadai. Indonesia mudah dikontrol oleh pihak asing melalui investor pemerintah luar negri maupun lembaga-lembaga internasional seperti Word Bank, dll. Harta kekayaan alam Indonesia dikuras oleh asing. Bertengger nama-nama seperti Freeport, ExxonMobile, Newmont, serta Inco Internasional yang menguasai SDA potensial. Seperti: emas, nikel, gas, dan minyak bumi. Begitu pula di Sektor finansial, terutama adalah perbankan, termasuk bank-bank kecil, juga tak lepas dari cengkeraman pemodal asing, meskipun realitasnya lebih menggantungkan keuntungan dari Sertifikat Bank Indonesia (SBI), padahal itu adalah uang negara. Sedangkan Laba triliunan rupiah yang didapat dari uang rakyat itu kembali ke kantong para investornya.
Implikasinya rakyat menjadi korban, sehingga angka kemiskinan masih amat tinggi ditengah negri yang kaya raya. Lapangan pekerjaan terus menyempit, kasus gizi buruk, dll. 30 juta jiwa lebih penduduk miskin menurut data BPS, itu pun menggunakan standard kemiskinan berpendapatan 7000 per hari. Bila menggunakan standar bank dunia (2 dollar per hari) maka kemiskinan di Indonesia hampir 50 persen.
Demokrasi sekulerisme di Indonesia yang memisahkan agama dengan kehidupan juga telah melahirkan banyaknya premanisme, angka kriminalitas, kelahiran diluar nikah, merebaknya aliran-aliran sesat yang berlindung dibalik HAM nya demokrasi, dan dampak-dampak buruk lainnya.
Melihat pemaparan di atas, setidaknya menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia sangatlah babak belur. Sistem ini memang sudah cacat sejak lahir. Kita selalu dipaksa  seolah-olah jika tidak menggunakan demokrasi yang demokratis, maka akan kembali ke sistem pemerintahan yang otoriter. Padahal masih ada pilihan lain, pilihan terbaik, yakni menerapkan sistem Islam.
Demokrasi jelaslah bertentangan dengan akidah dan syariah, karena memiliki asas kedaulatan di tangan rakyat, sedangkan dalam Islam kedaulatan di tangan hukum syara’ (hukum Allah). Di dalam Islam keputusan yang menyangkut hukum diambil berdasarkan kekuatan dalil, yang menyangkut keahlian berdasarkan ketepatan, sedangkan suara terbanyak bisa untuk masalah teknis saja.
Karena itu, sangat aneh bilamana demokrasi yang seperti ini sudah dijadikan percontohan, dikatakan sebagai salah satu yang terbaik di dunia pula, sebagaimana diucapkan PBS. Yakinlah, demokrasi hanya menguntungkan bangsa penjajah, tidak untuk Indonesia.  Negri ini butuh sistem Islam dalam bingkai Negara khilafah, niscaya Indonesia menjadi berkah.
Allah SWT juga telah memberikan peringatan kepada siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka dia bisa kafir, fasik, atau zalim (Lihat: QS. Al-Ma'idah: 44, 45, 47). Ibnu Abbas menjelaskan: barangsiapa yang zuhud (mengingkari) apa yang diturunkan oleh Allah Azza wa Jalla maka sungguh dia telah kafir, dan barang siapa yang mengakui apa yang diturunkan oleh Allah dan (tapi) tidak berhukum dengannya maka dia zalim lagi fasik. (Imam Ibnu Jarir Al-Tahobari, dalam kitab tafsirnya 6/257). [Ali Mustofa Akbar]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Post